A.PENGERTIAN DASAR IMUNISASI
1. Reaksi Antigen-Antibodi
Dalam bidang imunologi kuman atau
racun kuman (toksin) disebut sebagai antigen. Secara khusus antigen tersebut
merupakan bagian protein kuman atau protein racunnya. Bila antigen untuk
pertama kali masuk ke dalam tubuh manusia, maka sebagai reaksinya tubuh akan
membentuk zat anti. Bila antigen itu kuman, zat anti yang dibuat tubuh disebut antibodi.
Zat anti terhadap racun kuman disebut antioksidan. Berhasil tidaknya
tubuh memusnahkan antigen atau kuman itu bergantung kepada jumlah zat anti yang
dibentuk (Gambar 1).
Pada umumnya tubuh anak tidak akan
mampu melawan antigen yang kuat. Antigen yang kuat ialah jenis kuman ganas.
Virulen yang baru untuk pertama kali dikenal oleh tubuh. Karena itu anak anda
akan menjadi sakit bila terjangkit kuman ganas (gambar 2).
Jadi pada dasarnya reaksi pertama
tubuh anak untuk membentuk antibodi/antitoksin terhadap antigen, tidaklah
terlalu kuat. Tubuh belum mempunyai “pengalaman” untuk mengatasinya. Tetapi
pada reaksi yang ke-2, ke-3 dan berikutnya, tubuh anak sudah pandai membuat zat
anti yang cukup tinggi. Dengan cara reaksi antigen-anibody, tubuh anak dengan
kekuatan zat antinya dapat menghancurkan antigen atau kuman; berarti bahwa anak
telah menjadi kebal (imun) terhadap penyakit tersebut (gambar 3).
Dari uraian ini, yang terpenting
ialah bahwa dengan imunisasi, anak anda terhindar dari ancaman penyakit yang
ganas tanpa bantuan pengobatan.
Dengan dasar reaksi antigen antibodi ini tubuh anak
memberikan reaksi perlawanan terhadap benda-benda asing dari luar (kuman,
virus, racun, bahan kimia) yang mungkin akan merusak tubuh. Dengan demikian
anak terhindar dari ancaman luar.
Akan tetapi, setelah beberapa
bulan/tahun, jumlah zat anti dalam tubuh akan berkurang, sehingga imunitas
tubuh pun menurun. Agar tubuh tetap kebal diperlukan perangsangan kembali oleh
antigen, artinya anak terseut harus mendapat suntikan/imunisasi ulangan
Sebagai ringkasan mengenai pengertian dasar Imunologi
ialah:
(1) Bila ada antigen (kuman, bakteri,
virus, parasit, racun kuman) memasuki tubuh, maka tubuh akan berusaha untuk
menolaknya. Tubuh membuat zat anti yang berupa antibodi atau antitoksin
(2) Reaksi tubuh pertama kali terhadap
antigen, berlangsung lambat dan lemah, sehingga tidak cukup banyak antibodi
terbentuk.
(3) Pada reaksi atau respons yang kedua,
ketiga dan seterusnya tubuh sudah lebih mengenal jenis antigen tersebut. Tubuh
sudah lebih pandai membuat zat anti, sehingga dalam waktu yang lebih singkat
akan dibentuk zat anti cukup banyak.
(4) Setelah beberapa waktu, jumlah zat
anti dalam tubuh akan berkurang. Untuk mempertahankan agar tubuh tetap kebal,
perlu diberikan antigen/ suntikan/imunisasi ulang. Ini merupakan rangsangan
bagi tubuh untuk membuat zat anti kembali.
|
Di manakah zat anti tersebut dibentuk tubuh? Pada
tempat-tempat yang strategis terdapat alat tubuh yang dapat memproduksi zat
anti. Tempat itu adalah hati, limpa , kelenjar timus dan kelenjar getah bening.
Kelenjar getah bening misalnya, tersebar luas di seluruh jaringan tubuh,
seperti di sekitar rongga hidung dan mulut, leher, ketiak, selangkangan, rongga
perut. “Amandel” atau tonil merupakan kelenjar getah bening yang terdapat pada
rongga mulut sebelah dalam.
Berbagai alat tubuh yang disebutkan
tadi merupakan pusat jaringan terbentuknya kekebalan pada manusia. Kerusakan
pada alat ini akan menyebabkan seringnya anak terserang berbagai jenis infeksi:
lazimnya dikatakan “daya tahan tubuh anak merendah”.
2. Jenis
Vaksin
Ada beberapa jenis penyakit yang
dianggap berbahaya bagi anak, …. dapat dilakukan dengan pemberian imunisasi.
Diantara penyakit berbahaya tersebut termasuk penyakit cacar, tbc, difteri,
tetanus, batuk rejan, poliomielitis, kolera, tifus, para tifus campak,
hepatitis B dan demam kuning terhadap penyakit tersebut telah dapat dibuat
vaksinnya dalam jumlah besar, sehingga harganya terjangkau oleh masyarakat
luas.
Di negara yang sudah berkembang beberapa
vaksin khusus telah pula diproduksi, misalnya terhadap penyakit radang otak,
penyakit gondok, campak Jerman (rubela) dan sebagainya. Bahkan beberapa vaksin
yang sangat khusus dapat pula dibuat, tetapi harganya akan sangat mahal karena
penggunaan yang terbatas. Untuk kepentingan masyarakat luas, di beberapa negara
sedang dijajagi kemungkinan pembuatan vaksin berbahaya dan merugikan, misalnya
vaksin terhadap malaria dan demam berdarah.
Karena penyakit tersebut di atas
sangat berbahaya, pemberian imunisasi dengan cara penyuntikan kuman/antigen
murni akan menyebabkan anak anda benar-benar menjadi sakit. Maka untuk itu
diperlukan pembuatan suatu jenis vaksin dari kuman yang telah dilemahkan atau
dimatikan terlebih dahulu, sehingga tidak membahayakan dan tidak akan
menimbulkan penyakit. Bahkan sebaliknya, kuman penyakit yang sudah dilemahkan
itu merupakan rangsangan bagi tubuh anak untuk membuat zat anti terhadap
penyakit tersebut. Akibat suntikan imunisasi dengan jenis kuman tersebut reaksi
tubuh anak pun hanya berupa demam ringan yang biasanya berlangsung selama 1-2
hari.
|
Pada dasarnya vaksin dibuat dari: (1) kuman yang
telah dilemahkan atau dimatikan, (2) zat racun kuman (toksin) yang telah
dilemahkan, (3) bagian kuman tertentu yang biasanya berupa protein khusus.
-
Contoh vaksin yang terbuat dari kuman yang dimatikan: vaksin batuk rejan,
vaksin polio jenis salk.
-
Contoh vaksin yang terbuat dari kuman hidup yang dilemahkan: vaksin BCG, vaksin
polio jenis sabin, vaksin campak
-
Contoh vaksin yang terbuat dari racun/toksin kuman yang dilemahkan (disebut
pula toksoid): toksoid tetanus dan toksodid difteri.
-
Contoh vaksin yang terbuat dari protein khusus kuman: vaksin hepatitis B
3. Imunisasi aktif dan Imunisasi
Pasif
Ada 2 jenis imunisasi, yaitu
imunisasi aktif dan imunisasi pasif. Berikut ini akan diuraikan arti dan
perbedaan kedua jenis imunisasi tersebut.
Berbagai jenis vaksin yang
dikemukakan di atas bila diberikan pada anak anda merupakan contoh pemberian
imunisasi aktif. Dalam hal ini tubuh anak akan membuat sendiri zat anti setelah
suatu rangsangan antigen dari luar tubuh, misalnya rangsangan virus yang telah
dilemahkan pada imunisasi polio atau imunisasi campak. Setelah rangsangan ini
kadar anti dalam tubuh anak akan meningkat, sehingga anak menjadi imun atau
kebal. Jelaslah bahwa pada imunisasi aktif, tubuh anak sendiri secara aktif
akan menghasilkan zat anti setelah adanya rangsangan vaksin dari luar tubuh.
Berlainan halnya dengan imunisasi
pasif. Dalam hal ini imunisasi dilakukan dengan penyuntikan sejumlah zat anti,
sehingga kadarnya dalam darah akan meningkat. Zat anti yang disuntikkan tadi
biasanya telah dipersiapkan pembuatannya di luar tubuh anak, misalnya zat anti
yang terdapat dalam serum kuda yang telah dimurnikan. Jadi pada imunisasi pasif,
kadar zat anti yang meningkat dalam tubuh anak itu bukan sebagai hasil produksi
tubuh anak sendiri, tetapi secara pasif diperoleh karena suntikan atau
pemberian dari luar tubuh. Contoh imunisasi pasif ialah pemberian ATS (Anti
Tetanus Serum) pada anak yang mendapat luka kecelakaan. Serum anti tetanus ini
diperoleh dari darah kuda yang mengandung banyak zat anti tetanus. Contoh
imunisasi pasif lain terjadi pada bayi baru lahir. Bayi itu menerima berbagai
jenis zat anti dari ibunya melalui darah uri (plasenta), misalnya zat anti
terhadap penyakit campak ketika bayi masih dalam kandungan ibu.
Perbedaan yang penting antara jenis
imunisasi aktif dan imunisasi pasif ialah:
(1) Untuk memperoleh kekebalan yang
cukup, jumlah zat anti dalam tubuh harus meningkat; pada imunisasi aktif
diperlukan waktu yang agak lebih lama untuk membuat zat anti itu dibandingkan
dengan imunisasi pasif.
(2) Kekebalan yang terdapat pada
imunisasi aktif bertahan lama (bertahun-tahun), sedangkan pada imunisasi pasif
hanya berlangsung untuk 1 – 2 bulan.
-
Imunisasi aktif: tubuh anak sendiri membuat zat anti yang akan bertahan selama
bertahun-tahun.
-
Imunisasi pasif: tubuh anak tidak membuat sendiri zat anti. Si anak mendapatnya
dari luar tubuh dengan cara penyuntikan bahan/serum yang telah mengandung zat
anti.
-
Kekebalan yang diperoleh dengan imunisasi pasif tidak berlangsung lama.
Pemberian imunisasi pada anak
biasanya dikerjakan dengan cara imunisasi aktif, karena imunisasi aktif akan
memberi kekebalan yang lebih lama. Imunisasi pasif diberikan hanya dalam
keadaan yang sangat mendesak, yaitu bila diduga tubuh akan belum mempunyai
kekebalan ketika terinfeksi oleh kuman penyakit yang ganas.
Kadang-kadang imunisasi aktif dan
pasif diberikan dalam waktu yang bersamaan, misalnya pada penyakit tetanus.
Bila seorang anak terluka dan diduga akan terinfeksi kuman tetanus, maka ia
memerlukan pertolongan sementara yang harus cepat dilakukan. Saat itu belum
pernah mendapat imunisasi tetanus, karena itu ia diberi imunisasi pasif dengan
penyuntikan serum anti tetanus. Untuk memperoleh kekebalan yang langgeng, saat
itu juga sebaiknya mulai diberikan imunisasi aktif berupa penyuntikan toksoid
tetanus. Kekebalan pasif yang diperoleh dengan penyuntikan serum anti tetanus hanya
berlangsung selama 1 – 2 bulan.
Secara alamiah imunisasi aktif
mungkin terjadi, sehingga tanpa disadari sebenarnya tubuh si anak telah menjadi
kebal. Keadaan demikian pada umumnya hanya terjadi pada penyakit yang tergolong
ringan, tetapi jarang sekali pada penyakit yang berat. Misalnya penyakit tifus,
yang pada anak tidak tergolong penyakit berat. Tanpa disadari seorang anak
dapat menjadi kebal terhadap penyakit tifus secara alamiah.
Mungkin ia telah mendapat kuman
tifus tersebut dalam jumlah yang sangat sedikit, misalnya dari makanan yang
kurang bersih, jajan dan sebagainya. Akan tetapi kekebalan yang diperoleh
secara alamiah ini sukar diramalkan, karena seandainya jumlah kuman tifus yang
masuk dalam tubuh itu cukup banyak, maka penting pula untuk diperhatikan bahwa
jaminan imunisasi terhadap tertundanya anjak dari suatu penyakit, tidaklah
mutlak 100%. Dengan demikian mungkin saja anak anda terjangkit difteria,
meskipun ia telah mendapat imunisasi difteria.
Akan tetapi penyakit difteria yang diderita oleh
anak anda yang telah mendapat imunisasi akan berlangsung sangat ringan dan
tidak membahayakan jiwanya. Namun demikian tetap dianjurkan: “Meskipun
bayi/anak anda telah mendapat imunisasi, hindarkanlah ia dari hubungan dengan
anak lain yang sedang sakit”.
4. Pelaksanaan Imunisasi
Dalam kebijakan melaksanakan
imunisasi perlu dipertimbangkan dua hal: (1) manfaat imunisasi beserta
komplikasi atau efek samping yang mungkin timbul, (2) akibat buruk dan bahaya
penyakit tersebut. Bila yang pertama akan lebih memberikan manfaat dibandingkan
dengan yang kedua, maka imunisasi dapat dilaksanakan. Sebaliknya bila manfaat
imunisasi dinilai kurang dan komplikasi akibat imunisasi cukup b berbahaya,
sedangkan akibat buruk penyakit tidak ada, maka imunisasi tidak perlu dilaksanakan
karena risikonya terlampau tinggi.. beberapa contoh akan dikemukakan berikut
ini:
1) Seperti tertera pada
tabel 1 berikut ini, penyakit campak dapat mengakibatkan komplikasi yang sangat
berat dan membahayakan, yaitu radang otak, radang paru, kejang, bahkan
kematian. Imunisasi pun tidak terlepas dari kemungkinan terjadinya komplikasi.
Akan tetapi kejadian berbagai komplikasi tersebut jauh lebih tinggi pada
penyakit campak akibat infeksi alamiah dibandingkan dengan kejadian akibat
imunisasi. Maka nyata sekali perlu dilaksanakan imunisasi terhadap campak.
2) Sampai dengan tahun
1978 diperlukan imunisasi terhadap penyakit cacar, karena penyakit ini tersebar
luas di seluruh dunia dan merupakan penyakit yang berbahaya. Masalah yang
menonjol pada waktu itu ialah di satu pihak akibat buruk penyakit, di pihak
lain manfaat imunisasi yang sangat besar walaupun tidak luput dari
komplikasinya. Sebaliknya pada saat ini ancaman penyakit cacar sama sekali
tidak ada, karena penyakit ini sudah lenyap terberantas. Bila pada dewasa ini
dilaksanakan imunisasi cacar, maka yang akan nampak bukan manfaatnya tetapi
komplikasinya, yaitu radang otak atau kejang meskipun kejadiannya jarang.
Dengan demikian kebijakan yang ditempuh pada saat ini ialah menghapuskan pemberian
imunisasi terhadap penyakit cacar.
3) Pemberian imunisasi
batuk rejan masih diperlukan, khususnya pada anak balita karena komplikasi
batuk rejan dapat berakhir dengan kematian. Tetapi komplikasi akibat imunisasi
pun masih cukup tinggi, khususnya pada anak yang berumur lebih dari 5 tahun.
Berdasarkan kenyataan ini, imunisasi batuk rejan hanya diberikan pada golongan
balita; bagi golongan anak berumur lebih dari 5 tahun lebih mudah mengobati
batuk rejannya ketimbang menanggung risiko imunisasi yang berat.
Tabel
1. Perbandingan kejadian
komplikasi penyakit campak antara anak yang terinfeksi secara alamiah dan
akibat imunisasi
No.
|
Jenis Komplikasi
|
Infeksi alamiah setiap 100.000 anak
|
Imunisasi
setiap 100.000
suntikan
|
Perbandingan risiko imunisasi dan infeksi
|
1
2
3
4
|
Radang otak
Radang paru
Kejang
Kematian
|
50 – 400
3.800 – 7.300
500 – 1.000
10 – 10.000
|
0,1
0
0,02 – 0,1
0,02 – 0,3
|
1 : 2.500
Tidak ada risiko pada imunisasi
1 : 10.000
1 : 3.500
|
Sumber: Modifikasi WHO Chronicle 38:97 (1984)
III. JENIS IMUNISASI
Sesuai dengan program pemerintah
(Departemen Kesehatan) tentang Program Pengembangan Imunisasi (PPI),
maka anak anda diharuskan mendapat perlindungan terhadap 6 jenis penyakit
utama, yaitu: penyakit TBC (dengan pemberian vaksin BCG), difteria, tetanus,
batuk rejan, poliomielitis dan campak.
Imunisasi lain yang dianjurkan di
Indonesia pada saat ini ialah terhadap penyakit kolera, tifus, paratifus A-B-C,
rabies dan mungkin terhadap hepatitis B. Masih terdapat pertentangan terhadap pemberian
imunisasi anjuran ini, baik karena cara pemberiannya yang tidak praktis, mutu
vaksin yang belum memadai, maupun karena manfaatnya yang diragukan. Sekelumit
penjelasan akan diuraikan berikut ini.
Manfaat imunisasi tifus dan
paratifus A-B-C cukup besar. Tetapi imunisasinya ringan dan tidak separah
seperti pada orang dewasa.
Program Pengembangan Imunisasi dari Pemerintah:
Mewajibkan anak anda mendapat imunisasi dasar terhadap
6 penyakit: TBC, difteria, tetanus, batuk rejan, polio dan campak. Imunisasi
terhadap penyakit lain (kolera, tifus, paratifus A-B-C, hepatitis B) tidak
diwajibkan, tetapi dianjurkan.
Demikian pula halnya dengan
vaksinasi kolera yang manfaatnya masih diragukan. Sebagian mengatakan bahwa
pemberian vaksin kolera terhadap penduduk di daerah muntaber ada manfaatnya,
akan tetapi banyak pula yang menentang kebenaran pendapat tersebut. Dalam
pemberantasan penyakit kolera/muntaber, Departemen Kesehatan tidak menganjurkan
vaksinasi kolera, tetapi lebih menekankan terhadap perbaikan kesehatan
lingkungan, seperti tersedianya air bersih, tempat sampah, jamban dan
sebagainya. Dewasa ini sedang diteliti kemungkinan pembuatan vaksin kolera yang
diberikan melalui mulut (oral); khasiatnya mungkin lebih baik daripada
pemberian melalui suntikan.
Penyakit cacar merupakan penyakit
menular yang sangat berbahaya. Tetapi sejak tahun 1980 WHO (World Health
Organization : Organisasi Kesehatan Dunia) sudah menghentikan vaksinasi
cacar karena dianggap penyakit cacar telah musnah dan tidak ditemukan lagi sejak
tahun 1973. Gagasan WHO ini menjadi landasan kebijakan Departemen Kesehatan
untuk menghentikan pelaksanaan vaksinasi cacar di Indonesia pada tahun 1980.
karena itu vaksinasi cacar tidak termasuk ke dalam Program Pengembangan
Imunisasi. Dengan demikian pada banyak tempat pelayanan kesehatan tidak
dilakukan lagi vaksinasi cacar.
Akan tetapi WHO menghimbau supaya
masyarakat tetap waspada terhadap kemungkinan timbulnya kembali penyakit cacar.
Dalam menghadapi kemungkinan tersebut WHO telah membuat persediaan vaksin cacar
yang memadai, masing-masing di Geneve dan di New Delhi. Seandainya ditemukan
kembali penyakit cacar, vaksinnya siap dikirim ke seluruh pelosok dunia dalam
waktu 24 jam.
Bergantung kepada kebijakan
pemerintah setempat, di beberap negara dapat dilaksanakan pemberian imunisasi
terhadap penyakit campak Jerman (rubela), penyakit gondong/bengok (parotitis),
radang otak, demam kuning, radang hati (hepatitis B) dan sebagainya. Di
Indonesia penggunaan vaksin tersebut secara menyeluruh masih memerlukan berbagai
pertimbangan. Di antara berbagai jenis hepatitis B akan mendapat prioritas
utama. Dalam beberapa tahun terakhir ini dilaporkan cukup banyak kasus
“penyakit lever” atau kanker hati. Penyakit ini disebabkan karena terinfeksinya
penderita oleh virus Hepatitis V.
Selanjutnya sedang dikembangkan dan
diteliti kemungkinan pemberian imunisasi terhadap berbagai penyakit malaria,
penyakit saluran nafas, demam berdarah dan penyakit keganasan/kanker. Khususnya
terhadap vaksin demam berdarah diharapkan dapat disajikan kepada masyarakat
dalam kurun waktu 10 tahun mendatang. Selain itu berbagai pusat penelitian
mengusahakan pula peningkatan muu terhadap vaksin yang sekarang telah beredar,
misalnya terhadap vaksin batuk rejan, kolera, tifus dan paratifus A-B-C.
IV. IMUNISASI WAJIB
PROGRAM PENGEMBANGAN IMUNISASI (PPI)
Jenis imunisasi ini mencakup
vaksinasi terhadap 6 penyakit utama, yaitu BCG, DPT, Polio dan Campak. Harus
menjadi perhatian dan kewajiban orang tua untuk memberi kesempatan kepada
anaknya mendapat imunisasi lengkap, sehingga sasaran Pemerintah agar setiap
anak mendapat imunisasi dasar terhadap 6 penyakit utama pada tahun 1990 dapat
tercapai.
1. Vaksin BCG
Vaksinasi
dan jenis vaksin: pemberian imunisasi BCG bertujuan untuk menimbulkan
kekebalan aktif terhadap penyakit tuberkulosis (TBC). Vaksin BCG mengandung
kuman BCG (Bacillus Calmette guerin) yang masih hidup. Jenis kuman TBC ini
telah dilemahkan.
Penjelasan
penyakit: di Indonesia dan di negara sedang berkembang lainnya, TBC masih merupakan
penyakit rakyat yang sangat mudah menular. Di negara yang sudah berkembang,
penyakit ini sudah sangat jarang ditemukan, karena dilaksanakannya imunisasi
BCG dengan luas, pengawasan ketat terhadap penderita TBC dan perbaikan keadaan
sosial ekonomi.
Seorang anak akan menderita TBC
karena terhisapnya percikan udara yang mengandung kuman TBC, yang berasal dari
orang dewasa berpenyakit TBC. Mungkin juga bayi sudah terjangkit penyakit TBC
sewaktu lahir. Ia terinfeksi kuman TBC sewaktu masih dalam kandungan, bila ibu mengidap
penyakit TBC. Tetapi hal ini jarang terjadi. Pada anak yang terinfeksi, kuman
TBC dapat menyerang berbagai alat tubuh. Yang diserangnya ialah paru (paling
sering), kelenjar getah bening, tulang, sendi, ginjal, hati atau selaput otak.
TBC selaput otak merupakan jenis TBC yang paling berat. Salah satu dari sekian
banyak upaya pemberantasan penyakit TBC ialah imunisasi BCG. Dengan imunisasi
BCG diharapkan penyakit TBC dapat diberantas dan kejadian TBC yang berat dapat
dihindari.
Cara
imunisasi: pemberian imunisasi BCG sebaiknya dilakukan ketika bayi baru lahir sampai
berumur 2 bulan. Setiap 5 tahun imunisasi diulang 9lihatlah jadwal pemberian
imunisasi, hal 61). Pada anak yang berumur lebih dari 2 bulan, dianjurkan untuk
melakukan uji Mantoux sebelum imunisasi BCG. Gunanya untuk mengetahui apakah ia
telah terjangkit penyakit TBC. Seandainya hasil uji Mantoux positif, anak
tersebut selayaknya tidak mendapat imunisasi BCG.
Tetapi bila imunisasi BCG akan
dilakukan secara massal (misalnya di sekolah, RT/RW, perusahaan, pabrik), maka
pemberian suntikan BCG dilaksanakan secara langsung tanpa uji Mantoux terlebih
dahulu. Hal ini dilakukan mengingat pengaruh beberapa faktor, seperti segi
teknis penyuntikan BCG, keberhasilan program imunisasi, segi epidemiologik dan
lain-lain. Penyuntikan BCG tanpa dilakukan uji Mantoux pada dasarnya tidaklah
membahayakan. Namun seandainya orang tua merasa bimbang karena anak anda dengan
tidak terduga mendapat imunisasi BCG di sekolah, sebaiknya anda bertanya kepada
dokter atau petugas kesehatan lain.
Bila pemberian imunisasi BCG itu
“berhasil”, setelah beberapa Minggu di tempat suntikan akan terdapat benjolan
kecil. Tempat suntikan itu kemudian berbekas. Kadang-kadang benjolan tersebut
bernanah, tetapi akan menyembuh sendiri meskipun lambat. Biasanya penyuntikan
BCG dilakukan di lengan kanan atas. Karena luka suntikan meninggalkan bekas dan
mengingat segi kosmetiknya, pada bayi perempuan dapat diminta suntikan di paha
kanan atas.
Kekebalan : Seperti
telah diuraikan di atas, jaminan imunisasi tidaklah mutlak 100% bahwa anak anda
akan terhindar sama sekali dari penyakit TBC. Seandainya bayi yang telah
mendapat imunisasi terjangkit juga penyakit TBC, maka ia akan menderita
penyakit TBC ini dalam bentuk yang ringan. Ia pun akan terhindar dari
kemungkinan mendapat TBC yang berat, seperti TBC paru yang parah, TBC tulang
atau TBC selaput otak yang dapat mengakibatkan cacat seumur hidup dan
membahayakan jiwa anak anda.
Reaksi
imunisasi: biasanya setelah suntikan BCG bayi tidak akan menderita demam. Bila ia
demam setelah imunisasi BCG umumnya disebabkan oleh keadaan lain. Untuk hal ini
dianjurkan agar anda berkonsultasi dengan dokter.
Efek samping: umumnya
pada imunisasi BCG jarang dijumpai akibat samping. Mungkin terjadi pembengkakan
kelenjar getah bening setempat yang terbatas dan biasanya menyembuh sendiri
walaupun lambat. Bila suntikan BCG dilakukan di lengan atas, pembengkakan
kelenjar terdapat di ketiak atau leher bagian bawah. Suntikan di paha dapat
menimbulkan pembengkakan kelenjar di selangkangan. Komplikasi pembengkakan
kelenjar ini biasanya disebabkan arena teknik penyuntikan yang kurang tepat,
yaitu penyuntikan terlalu dalam. Dalam masalah komplikasi yang ringan ini, bila
terdapat keraguan dipersilahkan anda berkonsultasi dengan dokter.
Indikasi
kontra: tidak ada larangan untuk melakukan imunisasi BCG, kecuali pada anak yang
berpenyakit TBC atau menunjukkan uji Mantoux positif.
-
Pemberian imunisasi BCG sebaiknya dilakukan sedini-dininya, dalam waktu
beberapa hari setelah bayi lahir.
-
Cara pemberian imunisasi BCG bagi perorangan berlainan dengan pemberian secara
massal.
-
Imunisasi BCG secara massal tanpa didahului uji Mantoux, tidak membahayakan.
-
Dengan imunisasi BCG akan anda akan bebas terjangkit penyakit TBC.
Setidak-tidaknya ia terhindar dari penyakit TBC yang berat dan parah.
2. Vaksin DPT (Difteriaa, Pertusis,
Tetanus)
Vaksin dan
jenis vaksin: manfaat pemberian imunisasi ini ialah untuk
menimbulkan kekebalan aktif dalam waktu yang bersamaan terhadap penyakit
difteria, pertusis (batuk rejan) dan tetanus. Dalam peredaran di pasaran
terdapat 3 jenis kemasan vaksin ketiga penyakit ini. Anda dapat memperolehnya
dalam bentuk kemasan tunggal khususnya bagi tetanus, dalam bentuk kombinasi DT
(difteria dan tetanus), dan kombinasi DPT (dikenal pula sebagai vaksin tripel).
Cara
imunisasi: imunisasi dasar diberikan 2-3 kali, sejak bayi berumur 2 bulan dengan
jarak waktu antara 2 penyuntikan 4-6 minggu. Imunisasi dasar dengan 3 kali
penyuntikan lebih baik daripada dengan 2 kali penyuntikan. Untuk imunisasi
massal (di sekolah, RT/RW), biasanya cukup diberikan 2 kali penyuntikan.
Imunisasi ulang lazimnya diberikan ketika anak berumur 1 ½ – 2 tahun, menjelang
umur 5 tahun (sebelum masuk sekolah dasar), dan menjelang umur 10 tahun
(sebelum keluar Sekolah Dasar), masing-masing hanya diberi 1 kali suntikan.
Dalam hal imunisasi ulang ini anda
tidak perlu cemas, seandainya anak mendapat suntikan ulang sebelum waktunya.
Kejadian demikian sering dialami para ibu. Dokter harus memberikannya bila
terjadi kontak antara anak dengan penderita lain, misalnya penyakit difteria
atau batuk rejan. Atau bila diduga luka pada anak akan terinfeksi tetanus.
Demikian pula dalam keadaan yang meragukan atau mencurigakan, biasanya dokter
akan memberikan suntikan ulang. Para ahli telah sepakat, bahwa lebih baik
memberikan imunisasi berlebih daripada kurang.
Reaksi
imunisasi: reaksi yang mungkin terjadi biasanya demam ringan, pembengkakan dan rasa
nyeri di tempat suntikan selama 1 – 2 hari.
Efek samping:
kadang-kadang terdapat akibat samping yang lebih berat, seperti demam tinggi
atau kejang, yang biasanya disebabkan oleh unsur pertusisnya. Bila hanya
diberikan DT (difteria dan tetanus) tidak akan menimbulkan akibat samping
demikian.
Indikasi
kontra: imunisasi DPT tidak boleh diberikan kepada anak yang sakit parah, pernah
menderita kejang atau pada penyakit gangguan kekebalan (defisiensi imunologik).
Sakit batuk, pilek, demam atau diare yang sifatnya ringan, bukan merupakan
indikasi kontra yang mutlak. Dokter akan mempertimbangkan pemberian imunisasi,
seandainya anak anda sedang menderita sakit ringan.
3. Vaksin DT (difteria,
Tetanus)
Jenis vaksin: vaksin ini
dibuat untuk keperluan khusus. Misalnya anak anda tidak diperbolehkan atau tidak
lagi memerlukan imunisasi pertusis, tetapi masih memerlukan imunisasi difteria
atau tetanus.
Cara
imunisasi: pemberian imunisasi dasar dan ulangan sama dengan pada imunisasi DPT.
Efek samping: akibat samping
biasanya tidak ada atau hanya berupa demam ringan dan pembengkakan lokal di
tempat suntikan selama 1 – 2 hari.
Indikasi kontra: hanya pada anak yang sakit parah atau
sedang menderita demam tinggi. Dengan pengawasan dokter, anak yang pernah
kejang masih dapat diberikan imunisasi DT.
Untuk lebih jelasnya, di bawah ini akan diuraikan
secara terinci mengenai masing-masing vaksin difteria, tetanus dan pertusis.
4. Vaksin Difteria
Vaksinasi dan jenis vaksin: Vaksin
difteri terbuat dari toksin kuman difteri yang telah dilemahkan (=toksoid).
Biasanya diolah dan dikemas bersama-sama dengan vaksin tetanus dalam bentuk
vaksin DT, atau dengan vaksin tetanus dan pertusis dalam bentuk vaksin DPT.
Penjelasan
penyakit: Di Indonesia difteri masih banyak dijumpai, bahkan mungkin timbul secara
luas dalam waktu bersamaan. Di negara maju pun difteri masih belum lenyap,
misalnya di Amerika Serikat masih terdapat di pelosok perkotaan yang
penduduknya padat dan kurang mampu.
Penyakit difteri disebabkan oleh
sejenis bakteria yang disebut Corynebacterium diphtheriae. Sifatnya sangat
ganas dan mudah menular. Seorang anak akan terjangkit difteri bila ia
berhubungan langsung dengan anak lain sebagai penderita difteri atau sebagai
pembawa kuman (carrier), yaitu dengan terhisapnya percikan udara yang
mengandung kuman. Bila anak nyata menderita difteri dapat dengan mudah
dipisahkan. Tetapi seorang carrier akan tetap berkeliaran dan bermain
dengan temannya yang belum pernah mendapat imunisasi akan tertular penyakit
difteri yang diperoleh dari temannya sendiri yang menjadi carrier.
Anak yang terjangkit difteri akan
menderita demam tinggi. Selain itu pada tonil (amandel) atau tenggorok terlihat
selaput putih kotor. Dengan cepat selaput ini meluas ke bagian tenggorok
sebelah dalam dan menutupi jalan nafas, sehingga anak seolah-olah tercekik dan
sukar bernafas. Kegawatan lain pada difteri ialah adanya racun yang dihasilkan
oleh kuman difteri. Racun ini dapat menyerang otot jantung, ginjal dan beberapa
serabut saraf. Kematian akibat difteri sangat tinggi; biasanya disebabkan anak
“tercekik” oleh selaput putih pada tenggorok atau karena lemah jantung akibat
racun difteri yang merusak jantung.
Cara
imunisasi: pemberian imunisasi difteri biasanya dilakukan bersama-sama dengan
tetanus (Vaksin DT) dan batuk rejan (vaksin DPT), sejak bayi berumur 2 bulan
(lihatlah jadwal imunisasi hal. 61). Mula-mula diberikan dalam bentuk imunisasi
dasar sebanyak 2-3 kali suntikan dengan jarak waktu antara 2 suntikan 4-6
minggu. Kemudian disusul dengan imunisasi ulang pada umur 1 ½ – 2 tahun,
menjelang umur 5 tahun dan menjelang umur 10 tahun. Imunisasi ulang sewaktu
diperlukan juga bila anak anda berhubungan dengan anak lain yang menderita
difteri. Jadi bila anak terjangkit difteri, maka anak lain yang tinggal serumah
harus mendapat imunisasi ulang meski pun belum waktunya.
Kekebalan: Daya
proteksi atau daya lindung vaksin difteri cukup baik yaitu sebesar 80-95%.
Reaksi imunisasi: Jarang
terjadi, mungkin berupa demam ringan selama 1-2 hari.
Efek samping: biasanya
tidak ada
Indikasi kontra: Hanya pada
anak yang menderita demam tinggi atau sakit parah.
5. Vaksin tetanus
Vaksinasi
dan jenis vaksin: Seperti telah dikemukakan, terhadap penyakit tetanus
dikenal 2 jenis imunisasi, yaitu imunisasi aktif dan imunisasi pasif. Vaksin
yang digunakan untuk imunisasi aktif ialah toksoid tetanus, yaitu toksin kuman
tetanus yang telah dilemahkan dan kemudian dimurnikan. Ada 3 macam kemasan
vaksin tetanus, yaitu bentuk kemasan tunggal, kombinasi dengan vaksin difteri
(vaksin DT), atau kombinasi dengan vaksin difteri dan pertusis (vaksin DPT).
Vaksin untuk imunisasi pasif dikenal
dengan ATS (Anti Tetanus Serum). Serum anti tetanus ini diperoleh dengan
pengolahan serum yang berasal dari kuda yang mendapat imunisasi aktif tetanus.
Serum kuda yang telah diolah itu mengandung banyak zat anti tetanus. Jenis
vaksin ini dapat dipakai untuk pencegahan (imunisasi pasif), maupun pengobatan.
Penjelasan
penyakit: penyakit tetanus masih terdapat di seluruh dunia, karena kemungkinan anak
mendapat luka tetap ada, misalnya terjatuh, luka tusuk, luka bakar, koreng,
gigitan binatang, gigi bolong, radang telinga. Luka tersebut merupakan pintu
masuk kuman tetanus yang dikenal sebagai Clostridium tetani. Kuman ini
akan berkembang biak dan membentuk racun yang berbahaya. Racun inilah yang
merusak sel susunan saraf pusat tulang belakang yang menjadi dasar timbulnya
gejala penyakit. Gejala tetanus yang khas adalah kejang dan kaku secara
menyeluruh, otot dinding perut yang teraba keras dan tegang seperti papan,
mulut kaku dan sukar dibuka, serta muka yang menyeringai serupa “setan”.
Kejadian tetanus jarang dijumpai di
negara yang telah berkembang tetapi masih banyak terdapat di negara yang sedang
berkembang, terutama dengan masih seringnya kejadian tetanus pada bayi baru
lahir (tetanus neonatorum). Penyakit ini terjadi karena kuman Clostridium
tetani memasuki tubuh bayi baru lahir melalui tali pusat yang kurang
terawat. Dukung memotong tali pusat dengan memakai pisau atau sebilah bambu
yang tidak steril. Tali pusat mungkin pula dirawat dengan berbagai ramuan, abu,
daun-daunan dan sebagainya. Oleh karena itu untuk mencegah kejadian tetanus
neonatorum ini, secara berkala Departemen Kesehatan mengadakan kursus perawatan
ibu dan bayi terhadap para dukun. Upaya lain untuk pencegahannya ialah
pemberian imunisasi aktif kepada ibu hamil pada trimester akhir yang
persalinannya diduga akan ditolong oleh dukun.
Seandainya seorang ibu melahirkan
bayi yang ditolong oleh dukun dan sebelumnya tidak pernah mendapat imunisasi
tetanus, maka seharusnya bayi itu segera dibawa ke dokter/Puskesmas. Gunanya
untuk mendapatkan perlindungan terhadap penyakit tetanus dengan pemberian Serum
Anti Tetanus (ATS). Cara perlindungan terhadap bayi baru lahir ini
merupakan contoh suatu imunisasi pasif.
Angka kematian tetanus masih sangat
tinggi, yaitu pada bayi baru lahir sebesar 80-90%, pada anak berumur 2-7 tahun
sebesar 20-70%, dan pada anak berumur 8-12 tahun adalah 60%. Angka kematiannya
pada orang dewasa juga masih tinggi, yaitu 70-80%.
Cara
imunisasi: Imunisasi dasar dan ulang pada anak diberikan sama dengan imunisasi
difteria (lihatlah jadwal imunisasi, hal. 61). Pada imunisasi tetanus, setelah
anak berumur 10 tahun masih harus tetap mendapat suntikan ulang secara berkala
setiap 5 tahun selama masa hidup selanjutnya.
Pada ibu hamil pemberian imunisasi tetanus dilakukan
sebanyak 2 kali, masing-masing pada kehamilan bulan ke-7 dan ke-8. sevaksinasi
(vaksinasi ulang) dilakukan secara berkala setiap 5 tahun.
Untuk mencegah tetanus pada bayi
baru lahir:
-
Imunisasi aktif dengan toksoid tetanus pada ibu hamil menjelang kelahiran bayi.
-
Seandainya kelahiran seorang bayi ditolong oleh dukun, bayi secepatnya dibawa
ke dokter/puskesmas untuk mendapat imunisasi pasif dengan serum anti tetanus.
Pertanyaan yang sering diajukan oleh
ibu tentang imunisasi tetanus ialah: “Bagaimana tindakan seorang ibu seandainya
anak mendapat luka karena kecelakaan”. Dalam menghadapi masalah ini sebaiknya
anda berkonsultasi kepada dokter/Puskesmas, meskipun anak anda pernah mendapat
imunisasi tetanus. Dokter akan mempertimbangkan beberapa kemungkinan tindakan
seperti berikut:
(1) Anak tidak perlu mendapat imunisasi
tetanus
(2) Anak hanya mendapat toksoid tetanus
(3) Anak mendapat toksoid tetanus dan ATS
bersama-sama
Selain luka, di Indonesia sumber
utama lain tempat masuknya kuman Clostridium tetani pada anak ialah
radang telinga. Orang Jakarta mengatakan “congean”. Gejalanya berupa keluarnya
cairan berbau khas dari liang telinga. Bagi anak yang sering menunjukkan gejala
keluarnya cairan dari liang telinga dan belum pernah mendapat imunisasi
tetanus, sangat dianjurkan untuk mendapatkannya. Karena bila anak terinfeksi
tetanus tidak jarang akan berakhir dengan suatu kematian, yang pasti akan
sangat disesalkan … hanya karena gara-gara congean!
Kekebalan: daya proteksi
vaksin tetanus sangat baik, yaitu sebesar 90-95%.
Reaksi imunisasi: Reaksi akibat imunisasi aktif
tetanus biasanya tidak ada. Mungkin terdapat demam ringan atau rasa nyeri, rasa
gatal dan pembengkakan ringan di tempat suntikan yang berlangsung selama 1-2
hari.
Efek samping: Pada
imunisasi aktif dengan toksoid tetanus hampir tidak efek samping. Pada
pemberian imunisasi pasif dengan ATS mungkin terjadi reaksi yang lebih serius,
seperti gatal seluruh tubuh, nyeri kepala, bahkan renjatan (shock). Oleh karena
itu penyuntikan ATS seyogianya di bawah pengamatan dokter.
Indikasi kontra: tidak ada,
kecuali pada anak yang sakit parah.
6. Vaksin Pertusis (Batuk rejan,
Pertussis)
Vaksinasi
dan jenis vaksin: Vaksin terbuat dari kuman Bordetella pertusis
yang telah dimatikan. Selanjutnya dikemas bersama dengan vaksin difteria dan
tetanus (vaksin DPT, vaksin tripel).
Penjelasan
penyakit: penyakit batuk rejan, atau lebih dikenal dengan batuk 100 hari,
disebabkan oleh kuman Bordetella pertusis. Penyakit ini cukup parah bila
diderita oleh anak balita, bahkan dapat menyebabkan kematian pada bayi berumur
kurang dari 1 tahun. Gejalanya sangat khas, yaitu anak tiba-tiba batuk keras
secara terus menerus, sukar berhenti, muka menjadi merah atau kebiruan, keluar
air mata dan kadang-kadang sampai muntah. Karena batuk yang sangat keras,
mungkin akan disertai dengan keluarnya sedikit darah. Batuk akan berhenti
setelah ada suara melengking pada waktu menarik nafas. Kemudian anak nampak
letih dengan wajahnya yang lesu. Batuk semacam ini terutama terjadi malam hari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar